Beranda | Artikel
Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr -hafizhahullah- (seri 5)
Selasa, 5 April 2011

[dikutip dari buku : “DARI MADINAH HINGGA KE RADIORODJA”

(Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr, hafizhahullah)

Oleh: Abu Abdil Muhsin Firanda]

 

MENGUNDANG SYAIKH KE INDONESIA

Setelah mengisi ceramah secara rutin di Radiorodja, Syaikh Abdurrozaq dikenal secara luas oleh jamaah di Indonesia. Tak jarang yang merindukan perjumpaan dengan beliau. Begitupun saya, sudah lama memiliki keinginan untuk mengajak beliau mengunjungi Indonesia agar bisa memberikan ceramahnya secara langsung. Akan tetapi, lagi-lagi keraguan memenuhi hati saya menyaksikan kesibukan beliau dari hari ke hari.

Setelah cukup lama mempertimbangkan permintaan saudara-saudara saya di Indonesia, akhirnya saya menyampaikan juga keinginan tersebut kepada Syaikh.  Apalagi setelah beberapa ikhwan mengonfirmasi kesiapan mereka untuk mengatur prosedur dan teknis kedatangan Syaikh di Indonesia.

Saat keinginan tersebut saya sampaikan kepada beliau, sempat terjadi tawar-menawar serta tarik ulur. Di antaranya, saya menawarkan kepada beliau untuk berkunjung ke Indonesia pada liburan musim panas, karena merupakan liburan panjang bagi Universitas Islam Madinah. Biasanya masa liburan mencapai tiga bulan. Akan tetapi, tawaran ini beliau tolak.

“Di liburan musim panas, saya mengisi kajian harian di Masjid Nabawi,” jawab beliau. “Terlebih lagi yang menghadiri kajian banyak orang-orang arab yang berdatangan dari luar Arab Saudi, seperti Aljazair, Libya, Sudan, Kuwait, Emirat Arab, dan lain-lain. Dan ini sangat menghemat waktu saya daripada saya harus ber-safar ke negara-negera mereka. Alhamdulillah, mereka yang mendatangi kota Madinah.”

Jawaban tersebut tentu saja membuat hati saya sedih. Namun, saya cukup mengerti atas alasan dan pertimbangan beliau.

“Syaikh, bagaimana kalau pada kesempatan lain, Syaikh ber-safar ke Indonesia dengan membawa keluarga? Insya Allah, teman-teman di Indonesia siap mengatur. Syaikh bisa sekalian berpesiar menikmati keindahan alam Indonesia yang subur dan hijau. Tentunya mereka akan senang,” lanjut saya menawarkan alternatif kedua.

“Ya, Firanda, aku tidak ingin keluargaku pergi ke luar Arab Saudi karena banyak fitnah yang akan mereka lihat,” jawab Syaikh. “Allah telah menjaga mereka. Lagipula, istri dan anak-anakku tidak memiliki paspor, dan mereka tidak perlu untuk bikin paspor. Karena kalau mengurus paspor, mereka harus difoto, dan aku tidak suka kalau keluargaku difoto kalau bukan pada perkara-perkara yang memang dibutuhkan. Berlibur tidak mesti ke Indonesia.”

Sedih juga hati saya mendengar jawaban ini. Namun, saya terus berusaha memberi penawaran berikutnya. Saya berkata, “Ya Syaikh, bagaimana kalau liburan semesteran? Waktu liburannya lebih singkat, dan safar hanya beberapa hari saja.”

Beliau menjawab, “Ya Firanda, waktu liburan semester adalah milik keluargaku. Mereka juga punya hak berpesiar dan tamasya. Aku tidak ingin melalaikan hak mereka ini.”

Saya pun terdiam, entah penawaran apa lagi yang bisa saya sampaikan. Namun, alhamdulillah pada hari-hari berikutnya, saya mendapat ide baru. Saya katakan pada Syaikh, “Wahai Syaikh, bagaimana kalau Syaikh ke Indonesia bukan pada waktu liburan, tapi waktu mengajar?”

“Aku tidak ingin meninggalkan tugas mengajarku,” jawab Syaikh, mematahkan harapan saya. Namun, tiba-tiba Syaikh berkata, “Bisa, jika aku mengatur murid-muridku agar jam mengajarku ditunda dan dirapel, namun kita hanya bisa ber-safar ke Indonesia selama lima hari. Kita berusaha menyenangkan hati para pendengar Radiorodja dengan menziarahi mereka di Indonesia.”

Subhanallah… betapa senang hati saya mendengarnya, dan betapa semakin terharunya saya mengingat alasan beliau bersedia memenuhi tawaran saya,  adalah untuk menziarahi jamaahnya, menyenangkan hati saudara-saudara di Indonesia. Maka, saya pun segera menghubungi teman-teman di Jakarta untuk menyampaikan berita gembira ini dan agar mereka segera mempersiapkan segalanya.

Banyak pelajaran berharga yang bisa saya tarik dari peristiwa tersebut. Hal pertama adalah mengenai perhatian beliau terhadap dakwah. Termasuk perhatian beliau dalam menimbang kemaslahatan dakwah, sekaligus semangat beliau berdakwah dengan tetap memerhatikan hak-hak keluarga beliau. Ini merupakan pelajaran bagi para da’i yang terkadang melalaikan hak-hak istri dan anak-anak yang juga butuh rekreasi. Terkadang, seorang da’i karena terlalu semangat dalam berdakwah akhirnya melalaikan hak-hak istri dan anak-anak.

Kemudian, tidaklah mendorong beliau untuk mendatangi Indonesia kecuali dengan niat: “Kita berusaha menyenangkan hati para pendengar Radiorodja dengan menziarahi mereka di Indonesia.”

Begitulah, beliau selalu memerhatikan hal ini, dan berusaha mempraktikannya.

Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ سُرُوْرٌ يدُخْلِهُ ُعَلَى مُسْلِمٍ أَوْ يَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً أَوْ يَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا أَوْ يَطْرُدُ عَنْهُ جُوْعًا وَلَأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخٍ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ ( يعني مسجد المدينة) شَهْرًا وَمَنْ كَفَّ غَضَبَهُ سَتَرَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ _ وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ _ مَلَأَ اللهُ قَلْبَهُ رَجَاءَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ مَشَى مَعَ أَخِيْهِ فِي حَاجَةٍ حَتَّى تَتَهَيَّأَ لَهُ أَثْبَتَ اللهُ قَدَمَهُ يَوْمَ تَزُوْلُ الأَقْدَامُ وَإِنَّ سُوْءَ الْخُلُقِ يُفْسِدُ الْعَمَلِ كَمَا يُفْسِدُ الْخَلُّ الْعَسَلَ

Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia. Dan amalan yang paling dicintai Allah adalah memberikan rasa gembira pada hati seorang muslim, atau mengangkat kesulitan yang dihadapinya, atau membayarkan hutangnya, atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh, aku berjalan bersama saudaraku untuk menunaikan kebutuhannya, lebih aku sukai daripada aku iktikaf selama sebulan penuh di masjid ini (Masjid Nabawi).
Barang siapa yang menahan rasa marahnya maka Allah akan menutup auratnya (keburukan-keburukannya) pada hari kiamat. Barang siapa yang menahan amarahnya –-yang jika dia kehendaki maka bisa dia luapkan– maka Allah akan memenuhi hatinya dengan (selalu) mengharapkan hari kiamat. Barang siapa yang berjalan bersama saudaranya untuk keperluannya hingga ia siap untuk menunaikan kebutuhannya maka Allah akan mengokohkan kakinya di hari di mana kaki-kaki akan tergelincir. Sesungguhnya akhlak yang buruk merusak amal sebagaimana cuka merusak madu. (Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no: 906)


Menggembirakan Hati Sesama Muslim

Suatu ketika, saya hadir di majelis beliau di Masjid Nabawi. Saat itu, beliau menjelaskan kitab Asy-Syamaa’il Al-Muhammadiyah karangan Imam Tirmidzi. Sampailah beliau pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah di mana dia berkata:

أَتَانَا النبيُّ صلى الله عليه وسلم فِي مَنْزِلِنَا فَذَبَحْنَا لَهُ شَاةً فَقَالَ “كَأَنَّهُْم عَلِمُوا أَنَّا نُحِبُّ اللَّحْمَ

Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam mendatangi kami di rumah kami, maka kami pun menyembelih seekor kambing untuk menjamu beliau. Maka beliau pun berkata, “Sepertinya mereka tahu bahwasanya kita suka daging (kambing).”

Syaikh Abdurrozzaq mengomentari hadits ini dengan berkata, “Lihatlah bagaimana Nabi menunjukkan rasa senangnya atas makanan yang dihidangkan oleh keluarga Jabir bin Abdillah, tidak lain kecuali untuk menyenangkan hati mereka. Oleh karena itu termasuk sunah jika kita dijamu orang kemudian kita suka dengan makanan yang dihidangkan maka hendaknya kita menunjukkan hal itu kepada orang tersebut agar menyenangkan hatinya. Hal ini berbeda dengan sebagian orang yang meskipun suka dengan makanan tapi menyembunyikan rasa sukanya.”

Saat kami mengisi pengajian di Radiorodja, namun Syaikh belum siap untuk mengisi, beliau berkata, “Sebentar saya mau menelepon.”

Beliau pun disibukkan dengan pembicaran melalui handphone. Saya menangkap sedikit-sedikit isi pembicaraan beliau. Setelah selesai, beliau menjelaskan bahwa barusan beliau berbicara dengan salah seorang donator. Rupanya, pada malam sebelumnya beliau mendapat kabar buruk tentang seseorang yang dipenjara karena terlilit hutang sejumlah 56 ribu real (sekitar 140 juta rupiah), dan orang tersebut sudah berumur 97 tahun. Selain sudah berusia sangat sepuh, ternyata orang tersebut juga seorang yang miskin. Maka tergeraklah hati Syaikh untuk meringankan beban orang tersebut, agar tidak menghabiskan sisa hidupnya di penjara. Syaikh menghubungi donatur tersebut dan meminta kesediaannya untuk membantu orang tua ini. Dan, alhamdulillah sang donatur setuju untuk melunasi hutang orang tua tersebut.

“Ya, kita menyenangkan hati orang tua itu,” kata Syaikh.

Bayangkan jika kita berada di posisi orang tua itu, betapa rasa senang dan gembira yang akan kita rasakan?

Syaikh banyak menyampaikan cerita para ulama yang memotivasi murid-muridnya untuk mengamalkan hal ini. Di antara cerita-cerita tersebut:

Pertama: kisah tentang Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di.

Kisah ini beliau sampaikan saat saya duduk di semester kedua Fakultas Dakwah Jurusan Akidah, jenjang S2.

Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di adalah guru dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahumallah. Syaikh banyak mengetahui cerita tentang Syaikh As-Sa’di karena tesis beliau tatkala di S2 berkenaan dengan karya-karya tulis Syaikh As-Sa’di. Selain itu, salah seorang putra Syaikh As-Sa’di adalah sahabat dekat beliau.

Suatu saat, istri Syaikh As-Sa’di pulang dari safar setelah beberapa lama berpisah dengan Syaikh As-Sa’di karena safar tersebut. Syaikh As-Sa’di terbiasa menggunakan jam beker untuk membantu beliau bangun shalat malam. Namun, malam hari di mana istri beliau pulang dari safar itu, rupanya ada seorang anak kecil di antara keluarga Syaikh yang memainkan jam beker tersebut. Walhasil, keesokan harinya saat shalat Shubuh, Syaikh As-Sa’di tidak nampak di masjid. Padahal beliau adalah imam masjid.

Siangnya, Syaikh As-Sa’di mengimami shalat Zhuhur. Selepas shalat, beliau memberi wejangan kepada para jamaah masjid. Setelah selesai, tiba-tiba ada seseorang hadirin yang bertanya, “Ya Syaikh, mengapa Syaikh tidak terlihat saat shalat Shubuh? Apakah karena istri Syaikh baru pulang dari safar?”

Mendengar celetukan orang tersebut, para hadirin tertawa. Kemudian, Syaikh pun tersenyum, lantas beliau memanggil orang tadi kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan sejumlah uang, lantas diberikan kepada orang itu, seraya berakata, “Ini hadiah buat engkau karena hari ini engkau memasukkan rasa gembira dalam hati para jamaah.”

Mendengar perkataan Syaikh, para jamaah kembali tertawa.


Kedua: kisah Syaikh As-Sa’di berpura-pura baru mendengar sebuah berita.

Kisah ini berasal dari putra Syaikh Abdurrahman As-Sa’di yang diceritakan kepada beliau. Suatu saat, Syaikh As-Sa’di berjalan dengan salah seorang putranya. Mereka bertemu seseorang di tengah perjalanan tersebut, dan orang itu berkata, “Ya Syaikh, tahukah engkau bahwa telah terjadi begini dan begitu….”

Orang tersebut menceritakan peristiwa dengan sangat rinci dan penuh semangat. Padahal, Syaikh sudah tahu kejaidan tersebut. Namun, Syaikh bersikap seakan-akan beliau baru pertama kali mendengar kejadian tersebut, sehingga membuat orang itu semakin semangat bercerita. Dan tatkala Syaikh berkata, “Ooo begitu…,” maka orang tersebut semakin gembira.

Kemudian, Syaikh melanjutkan perjalanan kembali. Maka bertemulah Syaikh dengan orang kedua yang bercerita tentang kejadian yang sama. Namun, Syaikh tetap sabar mendengarkan, seakan-akan beliau baru pertama kali mendengar kisah tersebut. Demikian halnya ketika datang orang ketiga menceritakan kejadian yang sama, semuanya di dengarkan oleh Syaikh dengan penuh saksama. Padahal, putra Syaikh sendiri merasa tidak sabar dan ingin mengatakan kepada orang itu bahwa Syaikh sudah tahu kejadiannya.

Sikap beliau yang penuh tawadhuk ini tidak lain upaya menyenangkan hati orang yang bercerita, dan agar tidak menyedihkan hatinya. Subhanallah! Coba kalau kita yang berada pada posisi beliau. Mungkin, kita dengan mudah mengatakan, “Ooo… itu? Saya sudah tahu.” Atau, “Wah, kamu ketinggalan berita. Saya sudah tahu sebelumnya.” Atau, “Hmm, saya pikir kamu mau menyampaikan sesuatu yang penting. Ternyata berita ini? Kalau ini sih sudah basi.” Atau ungkapan-ungkapan lainnya yang mungkin akan membuat sedih orang yang hendak bercerita tersebut.

Lihatlah Syaikh As-Sa’di, ulama sekaliber beliau bersedia merendahkan diri untuk mendengarkan sebuah cerita yang sudah beliau ketahui.

Ketiga: Kisah tentang Syaikh As-Sa’di dengan Syaikh Al-Utsaimin.

Suatu saat, Syaikh Utsaimin datang mengunjungi kota Madinah. Salah seorang kaya mengundang beliau makan malam di rumahnya. Hadir bersama beliau dalam jamuan makan malam tersebut, empat orang, termasuk Syaikh Abdrurrozaq dan Syaikh Utsaimin. Saat memasuki ruang makan, pandangan Syaikh Utsaimin tertuju pada tumpukan buah-buahan beraneka ragam yang tertata rapi menyerupai gunung kecil. Syaikh lalu mengambil buah apel dari tumpukan tersebut, lantas berkata kepada kami, “Tahukah kalian, kapan pertama kali aku memakan buah apel?”

Kemudian, Syaikh Utsaimin pun bercerita, “Dahulu, Syaikh As-Sa’di mengajar buku yang agak berat, yaitu Qawa’id Ibni Rajab. Kitab ini agak sulit dipahami karena berkaitan dengan kaidah-kaidah fikih. Pada awalnya, banyak murid beliau yang hadir, namun lama-kelamaan berkurang, hingga akhirnya saat beliau menamatkan kitab tersebut, hanya tinggal aku sendiri bersama beliau. Setelah itu, beliau merogoh sakunya dan mengeluarkan sebutir apel berwarna merah. Baru pertama kali aku melihat buah seperti itu. Beliau berkata, ‘Ini buah tuffahah (apel), yang dimakan bagian dalamnya. Ada bijinya di dalam. Jangan dimakan.’ Aku sangat gembira menerima hadiah tersebut, maka aku segera pulang dan mengumpulkan seluruh keluargaku, istri dan anak-anakku, lalu kutunjukkan kepada mereka buah tersebut. Karena mereka juga baru pertama kali melihat buah apel, maka ada yang berkata, ‘Apakah ini tomat?’ Akhirnya aku membelah-belah buah apel tersebut lantas kubagikan kepada keluargaku.”

Demikianlah, Syaikh Abdurrozak menceritakan kisah yang pernah didengarnya langsung dari Syaikh Utsaimin. Subhanallah, hanya sebutir apel akan tetapi sangat berkesan di hati Syaikh Utsaimin dan menyenangkan beliau bahkan keluarga beliau.

Syaikh Abdurrozaq pernah berkata, “Ya Firanda, meskipun sebuah hadiah nilainya tidak seberapa tetapi bisa jadi sangat menyenangkan hati orang yang diberi. Suatu saat, aku pernah bertemu seorang penuntut ilmu dari Kuwait, dan aku hampir lupa kalau aku pernah mengajarnya. Lantas, saat kami bertemu, dia segera memelukku kemudian mengingatkan aku bahwa dia pernah aku ajar di bangku kuliah. Bahkan dia berkata, ‘Ya Syaikh, aku tidak pernah lupa hadiah bunga yang Syaikh berikan kepadaku, sampai sekarang masih aku simpan di bukuku.”

Lihatlah setangkai bunga yang tidak bernilai tetapi sangat berkesan di hati orang tersebut.

Keempat: Syaikh Utsaimin dan tawaran basa-basi.

Sesungguhnya hampir seluruh rumah yang ada di Unaizah pernah diziarahi Syaikh Utsaimin untuk menyenangkan hati sang pemilik rumah.

Suatu saat,  Syaikh keluar dari masjid selepas memberikan pengajian. Tiba-tiba seorang pekerja dari Mesir –yang sedang bekerja di luar mesjid- berbasa-basi kepada Syaikh sambil berkata, “Ya Syaikh, silakan minum kopi di rumahku.”

Orang Mesir ini tidak pernah menghadiri kajian Syaikh, dan dia berkata demikian hanyalah basa-basi kepada Syaikh. Namun tanpa dia duga, tiba-tiba Syaikh Utsaimin berkata, “Kapan? Aku bersedia minum kopi di rumahmu.”

Orang Mesir ini pun kaget dengan jawaban Syaikh. Maka, dia pun berkata, “Iya, Syaikh, lain hari.”

Akhirnya Syaikh pun mengunjungi rumah orang Mesir ini pada hari yang ditentukan, ternyata kunjungan Syaikh ini sangat menggembirakan orang Mesir ini dan akhirnya dia pun jadi rajin dan selalu menghadiri kajian-kajian syaikh.

 

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/332-mendulang-pelajaran-akhlak-dari-syaikh-abdurrozzaq-al-badr-hafizhahullah-seri-5.html